Sekali Lagi, Hukum Adalah Panglima
25Jun
Menurut hukum MK akan melakukan pendekatan berdasarkan fakta dan bukti, karena sederhananya, ini merupakan sengketa pemilu, bukan tentang sistem pemilu, rekam jejak, kinerja paslon dan petahana, atau masalah lainnya
Dalam kehidupan berpolitik kita selama ini, tidak sering kita mengalami bahwa nasib politik, atau lebih tepatnya penguasa, ditetapkan oleh hukum. Kali ini, sekali lagi, hukum menjadi panglima. Kesembilan Hakim Konstitusi dari Mahkamah Konsitusi mendapat tugas berat untuk memutuskan hasil akhir pilpres 2019.
Tugas yang berat, karena keputusannya akan menentukan kualitas demokrasi di Indonesia, peta politik nasional, dan siapa orang-orang yang terpilih sebagai pimpinan nasional yang akan membawa (nasib) kita semua, bangsa dan rakyat Indonesia, ke periode lima tahun ke depan. Semakin penting karena ini terjadi di tengah hingar bingar dunia menghadapi perang dagang, perubahan iklim, ancaman terorisme dan radikalisme, kelangkaan pangan dan energi, dan kesenjangan di segala bidang.
Kita tahu, bahwa Amerika Serikat (AS) adalah salah satu juara demokrasi di dunia, bahkan mereka sudah memulainya sejak lebih dari 300 tahun yang lalu. Namun demikian, pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2000 terpaksa ditentukan oleh pengadilan. Kasus ini kontroversial, banyak pihak percaya bahwa seharusnya Al Gore memperoleh lebih banyak suara dibanding dengan George Bush di Negara Bagian Florida. Para pemilih Al Gore percaya bahwa kemenangan Bush adalah hadiah dari pengadilan di AS.
Memang banyak penelitian dilakukan, dan silang pendapat tentang hal tersebut sampai hari ini, tetapi Al Gore jantan, dan tunduk pada keputusan pengadilan. Al Gore akhirnya mengambil jalan lain dalam hidupnya, berjuang dan menjadi tokoh besar dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan dari dampak perubahan iklim dunia. Sementara itu Bush kembali memimpin AS dengan segala masalah, dinamika dan kebijakannya, yang ikut mewarnai peta politik dan perdamaian dunia yang bermasalah sampai saat ini.
Tahun lalu, dalam pilpres di Zimbwawe, setelah lengsernya diktator Robert Mugabe, Emmerson Mnangagwa, petahana, terpilih sebagai presiden. Lawannya, Nelson Chamisa menggugat hasil pilpres dan mengajukan gugatan ke pengadilan atas hasil pilpres tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa Mnangagwa memenangi pilpres tersebut.
Chamisa tetap melawan dengan mengajak pendukungnya melakukan aksi damai, sementara Mnangagwa menyerukan: “Nelson Chamisa, my door is open and my arms are outstreched, we are one nation, and we must put our nation first. Lepas dari dinamika tersebut, Zimbwabwe saat ini terus ditempa krisis politik dan ekonomi. Empat dari lima warga mereka berada di bawah garis kemiskinan, pekerja informal mencapai 95%, sementara lapangan kerja hanya tersedia untuk pegawai pemerintah.
Rata-rata warga hidup dengan 35 sen sehari, yang hanya cukup untuk membeli segenggam kecil tepung jagung, empat lembar sayuran dan sedikit minyak untuk memasak. Ada istilah mereka untuk hidup seperti itu, yaitu Tsaona, yang artinya hidup dalam kebetulan-kebetulan, sementara elit mereka hidup kecukupan dan korupsi meraja-lela (africanarguments.com).
Begitulah, hal yang serupa terjadi di sejumlah negara lain seperti Nigeria, Kenya, Congo, Maldives, dan mungkin banyak lainnya, di mana hukum (pengadilan) menentukan hasil akhir pemilu. Pemilu adalah kerja orang politik, melibatkan seluruh warga negara untuk berpolitik paling tidak dalam sehari, dan menghasilkan orang-orang politik yang menentukan nasib warga masyarakat beberapa tahun ke depan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan itu akan menentukan masa depan yang panjang bagi bangsa, negara dan mayoritas warga masyarakat, atau bahkan dunia. Kita tahu, orang-orang seperti Soekarno pernah mengubah dunia, juga Gandhi, Kennedy, Castro, Ho Chi Minh dan Gorbachev.
Ini semua, sekali lagi, akan diputuskan dalam masa sidang yang singkat, dengan melibatkan sejumlah kecil advokat, ahli, saksi fakta dan sembilan hakim konstitusi. Dalam dua hari mendatang kita akan mengetahui keputusan MK tentang Pilpres (dan Pileg) 2019. Para paslon terkesan sudah berusaha menenangkan para pendukungnya masing-masing, yang bagusnya, berhasil menurunkan suhu politik. Mereka juga berjanji akan menghindari kekerasan, dan akan tunduk pada keputusan apapun yang akan diberikan MK. Yang tersisa hanyalah argumen dan silang pendapat yang keras antara para advokat yang mewakili para paslon dan KPU.
Sebetulnya ini baik saja, selain karena sudah tugas para advokat yang dijamin hukum, perdebatan yang bermutu akan memberikan landasan baru untuk melakukan perbaikan dalam kebijakan hukum kita ke depan. Dari pengamatan selayang pandang, berdasarkan bacaan media saja, terkesan terjadi perbedaan pendekatan dari masing-masing kubu. Di satu kubu, pendekatannya dilakukan dengan menggunakan dasar-dasar normatif dan minim bukti. Pihak lainnya, dan juga KPU, memberi tanggapan berdasarkan ketentuan hukum positif, fakta lapangan yang bisa dijadikan bukti, dan relevansi argumen normatif dengan fakta dan bukti.
Kita juga tahu bahwa menurut hukum MK akan melakukan pendekatan berdasarkan fakta dan bukti, karena sederhananya, ini merupakan sengketa pemilu, bukan tentang sistem pemilu, rekam jejak, kinerja paslon dan petahana, atau masalah lainnya. Ada undang-undang terkait Pemilu, ada sistem pemilu, ada fakta yang bisa dijadikan bukti, ada sejumlah lembaga penyelenggara Pemilu yang dipilih sendiri oleh para politisi, dan ada sembilan orang hakim konstitusi yang independen dan paham hukum. Sejumlah ahli, sebagaimana perlu, juga bisa memperkuat atau membantah dalil dan argumen, sehingga hakim konstitusi bisa makin yakin dalam memberikan keputusannya.
Hukum, dalam keterasingannya dalam dunia politik praktis, dapat berperan pada saat-saat yang bisa jadi sangat kritikal dalam perjalanan suatu bangsa. Pertama, hukum dengan ketentuan-ketentuannya, bisa membuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemilihan untuk mereka yang ingin masuk ke dalam institusi birokrasi, parlemen, judikatif dan sejumlah lembaga negara lainnya. Bukan saja memberi kesempatan, bahkan hukum juga bisa memberi pembatasan, larangan, dan diskriminasi dalam proses tersebut.
Kedua, hukum (sistem peradilan) memberi keputusan atas proses demokrasi tersebut, termasuk memutuskan sengketa pilpres dan pileg. Karena begitu pentingnya kedua fungsi hukum tadi, maka siapa saja harusnya menyadari bahwa proses legislasi, termasuk perumusan undang-undang yang terkait pemilu, harus menghasilkan ketentuan terbaik bagi sistem demokrasi kita. Di ujung yang lain, karena kita sadar bahwa hasil proses demokrasi tersebut bisa disanggah di pengadilan, maka kita juga harus berupaya sungguh-sungguh bahwa sistem peradilan kita dibangun menjadi sistem yang adil dan transparan serta ditempati oleh orang-orang yang independen, kredibel dan berintegritas. Pekerjaan rumah untuk urusan-urusan itu kenyataannya masih menumpuk.
MK sudah mengumumkan bahwa keputusan atas sengketa pilpres dan pileg 2019 akan dilakukan pada tanggal 27 Juni ini, dua hari dari sekarang. Kalau kita sering berdoa, ini adalah salah satu saatnya untuk berdoa, bahwa keputusan MK yang dikeluarkan akan sejalan dengan apa yang sudah kita sepakati bersama dalam hukum, para pihak menerima keputusan MK dengan lapang dada, dan kita segera kembali ke kegiatan, pekerjaan dan profesi masing-masing untuk berbuat yang terbaik untuk Indonesia. (sumber:https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d120c668dc5f/sekali-lagi–hukum-adalah-panglima)
Eksplorasi konten lain dari Pengadilan Tinggi Medan
Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.