Written by ptmedan

Istilah ” contempt of court” dalam bidang hukum bukanlah suatu hal baru. Terminologi ini muncul menyusul dibentuknya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Butir 4 alinea ke-4 aturan tersebut mengisyaratkan perlu disusun undang-undang yang secara khusus mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan atau merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.

 

Lalu, bagaimanakah konsep “contempt of court” sebenarnya? 1. Penghinaan terhadap keadilan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto menyebut, masyarakat kerap kali salah paham dan disesatkan oleh istilah “contempt of court”. Istilah itu mengesankan seolah-olah yang akan dilindungi adalah keagungan pengadilan. Padahal, menurut Sunarto, tidak demikian. “Sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan itu sendiri yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim,” kata Sunarto dalam Seminar Nasional Peran Undang-undang ” Contempt of Court” di Hotel Holiday Inn, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019).

Sunarto mengatakan, pengertian contempt of court saat ini berada di titik yang absurd dan tidak jelas. Sebab, konsep ini kerap kali dikaburkan dengan prinsip transparansi, kontrol yudisial, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Namun, meskipun disadari istilah contempt of court tidak tepat, hingga saat ini belum ditemukan alternatif lain dalam hal ini.

Secara undang-undang, contempt of court dapat dimaknai sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan atau merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. 2. Sederet kasus contempt of court Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mencatat, bukan sekali dua kali saja terjadi contempt of court atau penghinaan terhadap keadilan. Pada 15 November 2003 misalnya, gedung Pengadilan Negeri (PN) Larantuka NTT dibakar oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Peristiwa yang sama juga terjadi di PN Maumere NTT tahun 2006, tahun 2011 terjadi di PN Temanggung Jawa Tengah, 2013 di PN Depok Jawa Barat dan tahun 2018 terjadi di PN Bantul DI Yogyakarta.

Tidak hanya infrastruktur pengadilan, penyerangan terhadap hakim juga kerap terjadi. Pada tahun 2013, seorang hakim di Gorontalo diserang saat berkendara. Jauh sebelum itu, Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya. Tahun 2005, seorang hakim ditusuk di ruang sidang di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo.

Pada 23 Desember 2008, oknum jaksa menyerang hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah hakim membebaskan terdakwa. “Terakhir, tanggal 18 Juli yang lalu di PN Jakarta Pusat, seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum,” ujar Ketua IKAHI Cabang Mahkamah Agung Syamsul Ma’arif. 3. Desakan pembentukan Undang-undang contempt of court Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur soal contempt of court. Menurut Wakil Ketua MA Sunarto, perihal contempt of court sejauh ini diatur dalam Pasal 207, 212, 214, 217, dan 218 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 217-218 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sejumlah pihak mendesak pembuat undang-undang untuk segera membentuk aturan soal hal ini karena dinilai urgen. IKAHI Cabang Khusus Mahkamah Agung (MA) menilai, penting untuk segera mengundangkan Undang-undang contempt of court karena banyaknya ancaman terhadap eksistensi badan peradilan atau aparatur pengadilan saat berproses mengadili suatu perkara. Ancaman penyerangan ini tidak akan berkurang jika tidak dicegah melalui penegakan undang-undang.

Oleh karenanya, pembuat undang-undang dinilai tak memiliki pilihan lain kecuali mengundangkan UU contempt of court dalam waktu dekat jika ingin prinsip negara hukum terwujud dengan baik. “Jangan terlalu lama membiarkan aparatur pengadilan bekerja tanpa jaminan perlindungan yang cukup. Jangan terlalu lama membiarkan pihak yang kalah tidak taat melaksanakan putusan pengadilan sehingga para pencari keadilan kesulitan mendapatkan haknya sesuai putusan pengadilan,” kata Ketua IKAHI Cabang MA Syamsul Ma’arif.

Hal yang sama juga disampaikan mantan Ketua MA Bagir Manan. Ia menyebut, ketentuan-ketentuan dalam pidana umum maupun tindakan administrasi saja tidak cukup. Di situlah diperlukan aturan tersendiri soal contempt of court. “Selain karena cakupan contempt of court lebih luas, juga secara sosiologis didapati kenyataan peristiwa-peristiwa atau ucapan-ucapan yang merendahkan atau melecehkan pengadilan dan hakim,” katanya. Namun demikian, bersamaan dengan desakan pembuatan UU contempt of court, Bagir menilai, lingkungan badan pengadilan harus mampu menjadi lembaga hukum yang dipercayai oleh publik.

Peristiwa ini seharusnya dilihat dari sudut pandang “akibat” peristiwa itu bisa terjadi. Menurut Bagir, sebagian publik berpendapat bahwa pengadilan terkadang tidak benar-benar menjadi tempat mencari dan menemukan keadilan. Anggapan ini muncul karena sejumlah peristiwa terdahulu. Misalnya, adanya kasus sejumlah hakim dan pejabat pengadilan lain yang diadili dan dihukum karena menerima suap.

Peristiwa lain, adanya tunggakan perkara yang tidak diputus sesuai dengan asas sederhana dan cepat. Oleh karenanya, Bagir menilai, penting dilakukan upaya penguatan kepercayaan publik. Hal ini untuk menekan angka contempt of court serta menumbuhkan keinginan masyarakat menjaga dan melindungi kehormatan pengadilan dan hakim dari segala bentuk pelecehan. “Kehadiran ketentuan contempt of court hanyalah sarana. Tanpa kehendak dan tekad yang kuat dari pengadilan untuk menjaga kehormatannya, ketentuan semacam contempt of court tidak dapat mencegah pelecehan terhadap pengadilan dan hakim,” katanya. (Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2019/08/02/09061931/tiga-hal-yang-harus-kita-ketahui-soal-contempt-of-court?page=all)


Eksplorasi konten lain dari Pengadilan Tinggi Medan

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.